Independensi Ruang Redaksi Terjerat Kepentingan Politik, Nurani dan Kode Etik Pun Dikorbankan

Hakerek-na'in: Alberico da Costa Junior.

Opiniaun

 (Sebuah Refleksi dalam Rangka Memperingati Hari Pers se-Dunia - 3 Mei 2019)

Oleh: Alberico da Costa Junior

Adalah sesuatu yang jelas ketika seorang jurnalis profesional memimpikan sebuah ruang redaksi dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme dan kode etik jurnalistik yang ada jika dibandingkan dengan harapan atau pola pikir (mindset) seorang politisi atau jurnalis yang bermindset politisi. Politisi menghendaki ruang redaksi dari media karakter apapun disiasati agar menuruti kemauan dan kepentigan kelempok mereka, sehingga tidak heran jika politisi berdalih “menciptkan” strategi untuk mendapatkan persetujuan terselubung melalui konspirasi tertentu. Konspirasi itu dilakuan melalui para pemimpin dan pemilik media serta orang-orang “titipan” yang sudah barang tentu mempunyai relasi politik dengan partai politik tertentu dengan tujuan mempromosikan dan mengkampanyekan program-program pemerintah tanpa harus mengkritisinya sehingga terkesan peran “watch-dog” media diabaikan.

Pada awal 2019, Januari hingga pertengahan Februari 2019 ada beberapa kejadian yang menimpa media nasional, khususnya media publik RTTL E.P. . Presiden Board media publik, Gil da Costa alias Naldo Rei mendadak diganti dengan orang pilihan pemerintah. Calon Presiden Agen Berita Tatoli, Rosario Martins yang dinominasikan di era pemerintahan Perdana Menteri Rui Maria Araujo pun diganti, padahal sebelumnya Ia dilibatkan dalam prosesu pembuatan operasional planning agen berita tersebut. Kejadian lain adalah ancaman pemecatan terhadap reporter RTTL E.P. Constancio Vieira yang diyakini dilakukan oleh Kepala Kantor SECOMS (Sekertaris Negara Komunikasai Sosiál). Kasus lain yang tidak kalah menarik perhatian dan menjadi sorotan publik adalah intervensi seorang penasehat terhadap ruang redaksi (news room) RTTL E.P. untuk mengarahkan news alignment ketika itu. 

Kejadian ini justru menuai kecaman dari berbagai pihak, baik dari dalam, maupun luar. Dewan Pers Timor-Leste (CI), beberapa hari setelah peristiwa tersebut kemudian mengutuk kejadian itu melalui sebuah pernyataan pers, meminta agar semua pihak yang ada tetap menghormati independensi ruang redaksi dan kebijakan editorial RTTL E.P. serta menghormati dan melindungi hak-hak para jurnalis yang bekerja disana guna menjamin hak kebebasan publik untuk tetap mengakses berita-berita yang berimbang dan kredibel. Kecaman lain juga datang dari SEAPA (Southeast Asia Press Alliance), munurut asosiasi jurnalis se-Asia Tenggara ini, kejadian yang menimpa jurnalis Constancio Vieira merupakan sebuah langkah mundur akan terjaminnya kebebasan pers di Timor-Leste, walaupun negara baru ini masih merupakan tempat yang paling aman bagi jurnalis untuk melakukan kegiatan jurnalisme.

Asosiasi Jurnalis Timor Lorosa’e (AJTL), adalah asosiasi wartawan satu-satunya yang mengutuk keras ancaman pemecatan terhadap wartawan RTTL E.P itu. AJTL mangambil sikap karena kejadian itu telah mengancam kebebasan pers dan kebebasan berkespresi yang tercermin dalam Undang-Undang Dasar (Konstitusi) RDTL, Pasal 40 dan 41. Jurnalis Constancio Vieira diancam, menyusul komentarnya pada akun facebook pribadinya yang mengatakan “kebebasan pers kini terbaring di ruang ICU.” Kasus ancaman jurnalis dan intervensi terhadap ruang ruang redaksi RTTL E.P. juga menjadi bahan diskusi di media sosial yang melibatkan komunitas jurnalis dan para aktivis HAM. Banyak jurnalis yang mengutuk kejadian yang tidak terpuji itu, namun tidak sedikit pula jurnalis yang bungkam dan ada juga wartawan yang berkomentar, tetapi mengambang dan tidak jelas keberpihakannya kemana.

Beberapa orang juga berkomentar di akun facebook mereka, terutama mereka yang kini bergelut di ranah politik. Dengan penuh percaya diri, mereka mengatakan bahwa ruang redaksi RTTL E.P. akan baik-baik saja dan aman-aman saja karena orang-orang yang baru saja ditunjuk untuk menduduki jabatan inti di media publik itu adalah para pemain lama yang juga sudah cukup lama mengeluti bidang media dan jurnalisme. Diskusi di facebook itu berhenti ketika saya menjawab komtentar si politisi ini dengan sebuah kalimat me-reframe kata-kata yang dia sampaikannya, “pemain lama itu benar, tapi mindsetnya bukan maindset seorang jurnalis, tapi mindset politisi.

Tentu saja bukan hanya news room RTTL E.P. yang diharapkan terbebas dari intervensi dan tekanan dari pihak tertentu, akan tetapi juga media mainstreaming lain, seperti GMN, STL, Timor Post, Independente, Tve, Dili Post, Tatoli, Tafara dan media profesional lainnya ruang redaksi dan kebijakan editorialnya tetap bebas dan independen sehingga kepercayaan publik akan berita dan program-program kredibel tetap terjaga adanya. Jelas kanal media-media ini dituntut melakukan kegiatan jurnalisme dengan independen sesuai dengan kaidah-kaidah etik jurnalistik karena konten program dan berita yang disampaikan adalah produk jurnalisme, bukan propaganda.

Lain halnya dengan dengan media partai politik atau ‘media centre’ partai politik yang hasil karyanya bukan produk jurnalisme melainkan propaganda dan fiksi walaupun informasi yang disampaikannya dalam bentuk berita hanya saja tidak sesuai dengan prinsip-prinsip universal jurnalisme dan kode etik jurnalistik yang ada. Adalah tanggungjawab etik bagi media mainstreaming untuk tetap menaati prinsip-prinsip jurnalisme seperti obyektifitas, akurasi, cover both sides dan independensi untuk tetap menjaga perbedaan itu, walau pada akhirnya media harus berpihak kepada kebenaran dan warga (publik), bukan berpihak pada kepentingan tertentu apalagi kepentingan politik. Pemain baru di bidang media, seperti para pengusaha dan politisi adalah fenomena baru dan sudah barang tentu menjadi tantangan bagi independensi ruang redaksi media yang semestinya bekerja untuk kepentigan publik. Independensi ruang redaksi akan menuruti kemauan pemilik media ketika tidak adanya aturan atau pembatasan yang jelas antara manajemen dan ruang redaksi. Disitulah kesaktian kebijakan redaksi sebuah media akan teruji pantang akan intervensi kepentingan politik dan ekonomi. Posisi seorang editor in-chief akan dilematis dalam situasi seperti ini, terlebih dalam hal pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan redaksi. Ada yang mungkin berpikir bahwa kehadiran para pengusaha dan politisi di bidang media adalah sesuatu yang lumrah dan baik adanya, akan tetapi ini bukan sebuah contoh yang baik yang harus ditiru sekalipun kita dalam sebuah sistem demokrasi yang kuat. Oleh karenya, harus ada pembatasan antara ruang redaksi dengan manajemen yang secara langsung berurusaun dengan marketing.  

Apa yang terjadi kemudian jika ruang redaksi itu tidak independen? News room atau ruang redaksi media akan hanya melahirkan produk jurnalisme yang cacat dan menyesatkan karena tidak bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik yang ada. Adalah salah ketika kita harus menjadikan Metro TV dan TV One Indonesia sebagai contoh yang harus ditiru dalam hal kebijakan editorialnya yang cenderung menuruti kemauan para pemiliknya sehingga yang terjadi adalah produk jurnalistiknya berpihak pada partai politik, maupun politisi tertentu. Walaupun secara teknis dan operasional kedua kanal media ini bekerja dengan profesional menuguhkan program-program hebat, akan tetapi secara etik jurnalistik keduanya tidak profesional karena berpihak pada kepentingan politik tertentu.

Menurut Wahyu Diatmika, Redaktur Pelaksana TEMPO, Ruang Redaksi harus independen agar berita yang diproduksi berdasarkan kepentingan publik dan standar nilai-nila berita yang ada. Media yang tidak memiliki ruang redaksi yang steril dari kepentingan non-redaksi tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai penyampai informasi yang layak dipercaya. Berita yang disiarkan merupakan pesanan dan tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, Independensia ruang redaksi adalah roh dari segala kegiatan jurnalisme sebuah media profesional yang tidak bisa ditawar-tawar seperti retorika yang sengaja dimunculkan oleh jurnalis yang bermindset politisi.

 Independensia ruang redaksi adalah suatu obligasi yang harus dipenuhi karena segala produk jurnalistik yang dimuat harus sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme dan kode etik jurnalistik yang ada demi kepentingan publik. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mendasar mengapa ruang redaksi RTTL E.P dan agen berita Tatoli harus independen dari segala pengaruh; RTTL E.P. dan Tatoli adalah media publik (media mainstreaming), bukan media partai karena sumber dana operasionalnya dari anggaran Negara yang tentunya adalah uang rakyat; Menghindari orang-orang “titipan” mendominasi posisi strategis yang ada, kegiatan jurnalisme dan ruang redaksi RTTL E.P. dan Tatoli; menghindari produk jurnalistik yang dihasilkan cenderung seremonial, tidak bersifat investigatif, tidak kritis dan bahkan mungkin menjadi corong pemerintah. 

Lemahnya statuta dan undang-undang kedua kanal media milik Negara ini justru membuka peluang bagi partai manapun untuk menitipkan orang-organgya disana ketika mereka berkuasa. Perlu disadari bahwa RTTL E.P. dan Tatoli adalah institusi media bukan institusi politik oleh karena itu tidak bisa dipolitisasi dan orang-orang yang bekerja disana harus independen dan tunduk pada kode etik jurnalistik bukan  arahan politik. Keberadaan RTTL E.P. kini sangat berbeda ketika beralih fungsi dari media publik menjadi media yang berorientasi komersial sehingga menghilangkan mandat konstitusionalnya sebagai media informatif dan edukatif dengan memberikan informasi kredibel dan pendidikan bagi warga negaranya. Konsekuensinya adalah program-program terbaik dari NGO maupun institusi lain yang ditayangkan harus dibayar mahal sesuai dengan tarif bisnis yang ditentukan. Padahal program-program itu bertujuan untuk memberikan pendidikan bagi warga di Negara baru ini.

Indeks prestasi kebebasan pers oleh Reporters without Borders menempatkan Timor-Leste pada ranking 84 dunia dan nomor satu di Asia Tenggara merupakan kebanggaan luar biasa yang harus diapresiasi karena menjadi cerminan bagi semua pihak di Negara ini agar tetap menghormati dan memberi free space and access kepada media untuk memainkan peran kontrol sosialnya bukan justru membatasi dan menghalanginya. Mantan Hakin Agung Amerika Serikat, Hugo Black memberikan pandangannya tentang arti peran watch-dog atau peran anjing penjaga media, Ia mangatakan, “Pers dilingungi agar Ia bisa membuka rahasia pemerintah dan memberi informasi kepada rakyat. Hanya pers yang bebas dan tak terbelenggu yang bisa efektif mengungkapkan penyimpangan di pemerintahan. Prinsip peran watch-dog media tidak hanya terbatas pada lembaga-lembaga Negara, akan tetapi juga mengontrol organisasi-organisasi masyarakat sipil seperti NGO maupun institusi-institusi spiritual seperti gereja dan lain sebagainya yang juga kemungkinan melalukan penyimpangan.

 Penulis adalah Presiden Dewan Etik Asosiasi Jurnalis Timor Lorosa’e (AJTL) dan Aktivis Dewan Solidaritas Mahasiswa Timor-Timur (DSMTT).